Senin, 14 Mei 2012

Ketika Telingaku Berdenging



Ketika telingaku berdenging, tergambar di benakku  sebuah pohon tinggi menjulang, bermandi cahaya dari sebuah sinar di atasnya,yang entah dating darimana, di tengah pekat gelap yang mengitarinya.
Ranting, cabang dan badan pohon yang kokoh mengangkang itu, menanggung bermilyar-milyar tangkai daun jiwa manusia yang hidup di dunia.
Selaras fitrahnya, pohon it uterus tumbuh keatas melahirkan tunas-tunas daun jiwa baru. Sedang yang teratas, kala tiba waktunya, gugur satu persatu. Daun yang gugur itu melayang pelan, perlambang jiwa manusia yang terbang menjemput ajal. Tak jarang di tengah perjalanannya, daun yang jatuh itu, menyentuh satu tangkai di bawahnya. Pertanda daun yang tersentuh akan segera mengikutinya meski belumlah sampai di puncak tertinggi usia. Ketika telinga seorang manusia di dunia berdenging, itulah sinyal bahwa daun jiwanya di langit tersentuh aba-aba maut akan segera tiba.
Dulu ketika telingaku berdenging, aku akan tersentak dan segera beranjak mengambil air wudlu, mencari mukena, dan mendirikan entah sholat apa yang kukarang sendiri niatnya. Setelahnya, aku memohon ampun atas segala dosa, membaca kitab suci meski dengan mengeja dan berdo’a semoga masuk surge. Untuk berminggu-minggu kemudian, aku akan bersikap sebaik yang aku bisa, menganggap cacian ibu tiri adalah nyanyian bidadari, menahan sekuat tenaga untuk tidak membuatnya murka.
Meski kini, setelah tiga puluh tahun telingaku berdenging berjuta kali, dan tak jua maut kutemui, takkan pernah cerita nenekku yang dituturkannya di beberapa malam menjelang tidurku, aku anggap dusta.
Kini aku menunggu telingaku berdenging, untuk melihat sekejap di benakku, senyum nenekku dari balik pohon jiwa itu, menunggu untuk merengkuh daun jiwaku dan berbisik, “ Selamat dating, cucuku yang merindukan surge…”.
Temanggung 5 mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar