BERKAH 100 %
Ujian
Nasional yang telah beberapa kali diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia
melalui Departemen Pendidikan Nasional (sekarang Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan) tak pelak masih menuai perdebatan hingga kini. Bukan saja tentang pandangan
akan perlu tidaknya Ujian Nasional diselenggarakan, namun juga meliputi
berbagai aspek di dalamnya seperti ketentuan standar nilai minimal kelulusan,
pelaksanaan, pengawasan dan lain sebagainya.
Lepas
dari itu semua, sejak dilaksanakanya pertama kali pada tahun 2006, UN telah
memunculkan beragam fenomena baru. Diantaranya adalah kembali maraknya para
siswa mendatangi lembaga bimbingan belajar untuk memepersiapkan diri menghadapi
Ujian Nasional. Sebelumnya, klien lembaga belajar tersebut kebanyakan
adalah siswa yang ingin melanjutkan
pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.
Fenomena
lain yang lebih menarik adalah perubahan drastis sikap siswa ke arah yang lebih
positif seiring mendekatnya waktu pelaksanaan Ujian Nasional. Siswa-siswi yang
mulanya bersikap biasa-biasa saja atau bahkan acuh tak acuh dengan pelajaran di
sekolah di tahun-tahun pelajaran sebelumnya, akan (mendadak) lebih
memperhatikan pelajaran dan bersikap kooperatif dengan guru.
Belum
lagi fenomena mujahadah ataupun istighotsah yang diadakan oleh pihak sekolah
dengan para siswa yang duduk di tahun terakhir. Mujahadah ataupun istighitsah
tersebut dimaksudkan untuk menyiapkan mental dan spiritual siswa dalam
menghadapi Ujian Nasional selain sebagai ajang doa bersama memohon kelulusan bagi
para siswa. Bagaimanapun, kelulusan siswa didik amatlah penting bagi posisi
madrasah ataupun sekolah di mata masyarakat ataupun di dunia pendidikan,selain
juga amat penting bagi siswa didik pribadi.
Seiring
dengan itu, kata “lulus” menjadi salah satu kata yang sangat populer dan banyak
disebutkan dalam berbagai kesempatan,baik di dalam kelas, rapat-rapat guru,
sambutan Pembina upacara, maupun di kalangan pergaulan siswa. Seolah momok,
Ujian Nasional secara tidak langsung menjadikan jargon “lulus” atau “lulus
100%” berdengung di mana-mana.
Fenomena-fenomena
di atas tidaklah buruk. Perubahan sikap siswa menjelang Ujian Nasional patutlah
disyukuri. Paling tidak, UN telah memberikan dampak positif bagi kualitas
afeksi siswa meskipun terkesan instan dan tidak ada jaminan akan keberlangsungannya
dalam jangka panjang. Begitupun dengan diadakannya Mujahadah ataupun
Istighotsah. Sampai saat ini , kegiatan doa bersama masihlah di pandang sebagai
alternatif kegiatan persiapan UN yang positif meski hanya temporer.
Satu
hal yang patut kita simak adalah hasil akhir dari munculnya fenomena-fenomena
diatas yang masih didominasi dengan tujuan kelulusan semata. Mungkin ada tujuan
lain dari berbagai sikap ataupun respon positif dalam menghadapi UN, akan
tetapi dengan begitu seringnya kata lulus diucapkan dibanding dengan kata-kata
yang mewakili tujuan lain, hal ini mengindikasikan bahwa kita belum beranjak
dari target lulus dalam usaha kita menyelenggarakan pendidikan bagi para siswa
didik.
Setelah
tahun demi tahun Ujian Nasional dilaksanakan, sudah saatnya bagi kita untuk
beranjak ke tingkat tujuan yang lebih tinggi dan berkualitas sekaligus mengandung
nilai kebermanfaatan jangka panjang di dunia maupun di kehidupan setelahnya,
yaitu keberkahan ilmu.
Tidak
bisa dipungkiri,target kelulusan siswa didik dalam Ujian Nasional begitu
membius tataran kesadaran dunia pendidikan kita,sehingga terkadang kita, para
pendidikpun acapkali lengah memberitahukan ataupun mengingatkan kepada para
siswa bahwa ada sesuatu yang lebih esensial selain kelulusan, yaitu keberkahan
ilmu itu sendiri.
Berkah
menurut Kamus Besar Bahasa Indoneia berarti karunia Tuhan yang mendatangkan
kebaikan bagi kehidupan manusia. Sedangkan Ilmu adalah pengetahuan atau
kepandaian duniawi,ukhrowi,mental,kebatinan dan lain sebagainya. Jadi
keberkahan ilmu kurang lebih berarti kepandaian atau pengetahuan yang
mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia. Dalam Islam kita tahu bahwa
kehidupan manusia ada dua yaitu kehidupan di dunia dan di akhirat.
Belajar
atau menuntut ilmu pada hakekatnya adalah proses mencari dan menemukan
pengetahuan yang tidak hanya bermuatan materi,namun juga immateri. Muatan
immaterial inilah yang justru memberikan bobot kebermaknaan sebuah ilmu. Muatan
tersebut sejatinya adalah cahaya Ilahiah sebagaimana sebagaimana sebagian orang
menyebut bahwa Al ilmu Nuurun,, yang berarti Ilmu adalah Cahaya Ilahiah.
Sayangnya, berhasil tidaknya muatan immaterial sebuah ilmu didapat oleh seorang
siswa,tidak bisa diukur dengan format evaluasi apapun. Hasilnya hanya akan bisa
dilihat dalam bukti kebermanfaatannya bagi kehidupan manusia di sekitarnya.
Nilai immaterial sebuah ilmu pun hanya bisa didapatkan oleh seorang siswa
dengan jalur tempuh melalui pelaksanaan bermacam-macam adab dan tata cara
menuntut ilmu yang diajarkan dalam ajaran Islam, seperti yang dapat kita pelajari
dari kitab Ta’limul Muta’allim. Salah satu diantara adab tersebut adalah sikap
menghargai semua agen keilmuan, sejak dari sumber ilmu yang berupa buku maupun
pendidik, hingga sikap belajar yang baik,seperti berdisiplin dan
bersungguh-sungguh.
Apabila kita
mulai menitikberatkan kepada keberkahan ilmu sebagai tujuan final pelaksanaan
proses pendidikan dan pembelajaran,maka bukan hanya kelulusan yang akan kita
dapatkan, akan tetapi lebih daripada itu, karakter siswa didik yang baik akan
terbentuk bukan hanya sesaat menjelang Ujian Nasional, melainkan sejak awal
mula mereka meniatkan untuk menuntut ilmu.
Seandainyapun
pendidikan saat ini tidak mencetak generasi seperti Abu Hurairah r.a. yang
menyempatkan diri untuk berwudlu, sholat sunnah dan berdoa setiap kali hendak
belajar, paling tidak, kita seharusnya bisa membentuk generasi yang berkarakter
baik bukan karena alasan pragmatis dan bersifat kontemporer, melainkan karena
mereka menyadari pentingnya berdoa dan bersikap baik secara kontinyu demi
keberkahan ilmu yang sedang mereka pelajari.
Kelulusan adalah
target jangka pendek yang tentu saja harus kita usahakan untuk kita capai.
Namun demikian,tidak selayaknya mengenyampingkan pentingnya tujuan keberkahan
ilmu agar ilmu tidak tercerabut dari akar nuansa spiritual di dalamnya.
Jauh-jauh
hari,sosok cerdas Albert Einstein telah menyadarkan hal itu dalam kutipannya
yang popular;” Knowledge without religion is blind, and religion without
knowledge is lame”. Dari sini kita bisa menyimpulkan betapa pentingnya sinergi
antara pengetahuan dan sisi agama. Antara pentingnya penguasaan pengetahuan
yang bisa diukur secara materi dan immaterial.
Maka hendaklah
kita mulai dari institusi pribadi kita akan penghargaan terhadap ilmu dan sisi
keberkahannya di samping pencapaian material berupa kelulusan dan angka-angka.
Sehingga tidak akan lagi terlahir generasi yang menguasai ilmu akuntansi dan
menyalahgunakannya untuk manipulasi perpajakan, ataupun dikuasainya ilmu fisika
dan kimia untuk mengkhianati kemanusiaan seperti yang terjadi dalam pengeboman
Hiroshima dan Nagasaki.
Perlu kiranya
kita belajar dari cerita yang dituturkan oleh K.H. Mustofa Bisri. Suatu
saat,datanglah serombongan pelajar ke kediaman sang Kyai,lengkap dengan
bingkisan dalam plastik untuk pak Kyai. Ketika ditanya oleh Pak Kyai tentang
maksud tujuan kedatangan mereka, dengan kompak mereka menjawab bahwa mereka
bermaksud didoakan agar lulus ujian. Mendengar itu,pak Kyai pun bertanya lagi untuk
memastikan apakah mereka minta didoakan agar ilmunya berkah atau lulus ujian.
Rombongan siswa itupun menjawab dengan yakin bahwa mereka meminta didoakan agar
lulus ujian. Demi mendengar jawaban mereka untuk kedua kalinya, sang Kyai tidak
berkenan mendoakan dan meminta mereka untuk pulang dan memikirkan kembali
tujuan belajar mereka selama ini. Rombongan itupun pulang dengan tak lupa
membawa bingkisan mereka serta. Meninggalkan sang Kyai yang termenung
keheranan.
Rasanya,belum
terlambat jika mulai saat ini kita semaikan semangat belajar demi keberkahan
ilmu dengan jargon;” Berkah 100%,Yes!,Lulus 100%,Yes!!”.
Kurnia
Ati’ullah S.Pd
20 April 2012